My living room

Our loss is our gain

Friday, November 04, 2005

Is Islam a peace-loving religion?

Is Islam a peace-loving religion, or does it tend towards violence? Both! Islam has a whole spectrum of positions. Some Muslims are liberally-minded and adapt themselves to democratic and pluralistic values, others are fundamentalists who struggle actively for a reformation of society, and still others are militant extremists prone to violence. Among the dedicated Muslim activists are peace-loving conservatives as well as the terrorist jihad supporters. It is important not to lump all Muslims and Islamic fundamentalists together.

What has contributed to the rise of militant Islam?

For a start, there are a number of events that have been traumatic for Muslims. Thinking of the past, they mourn the loss of the “Golden Age” of the beginnings of Islam and the Islamic cultural and military predominance from the seventh to 17th centuries. In addition, they have suffered under Western colonialism until recent times. Worldwide, they constantly experience the political, economical and military predominance of the “Christian” West. They have a sense of being under attack through events in Israel, Bosnia, Chechnya, Afghanistan and Iraq. They hate the repressive regimes in the Muslim world, which are often supported by the “Christian” West. They see their young people in danger from the immoral Western (“so-called Christian”) global culture. Many feel powerless and despised, leading them to be full of anger.

For militant Islamists, the example of Mohammad and the verses in the Qur’an that call for war against the “unbelievers” (Surat 2:190f, 9:5 and others) seem to be the only answer to this crisis. According to the Qur’an, violence is allowed if Muslims see themselves burdened or attacked. Petrodollars have helped many in the process of promoting militant Islam. They are inspired by the historic examples of commitment even to death of well-known Islamic personalities (eg Ibn Hanbal, Ibn Taimiyya, and Sayyid M Outb, the founder of modern jihad who was executed by the Egyptian government in 1966). It is probable that nearly every Muslim is convinced that one day all peoples will have to submit to Islam.

How can we pray for Islamists and for extremists?

1. Islamic fundamentalism, which is prone to violence, has evoked two types of reaction among Muslims: on the one hand, a stronger hatred of the West and stronger opposition to the gospel; on the other, a disillusionment with Islam and greater openness for the mercy and peace of God. Many Muslims are appalled by the acts of violence which are done in the name of Islam. This is verbalised in some internet chat room contributions as well as by testimonies of former Muslims in Algeria, Iran and Afghanistan who have turned their backs on Islam.

2. Some Islamic militants have come to understand something of God’s mercy and love from reading the Bible and observing the life of Christians. Interviews with more than 600 converts from a Muslim background have shown that these factors play crucial roles in about half of the decisions for Christ.

3. Some Islamic fundamentalists have experienced God’s direct intervention, ie through dreams, visions, healings or encounters with the risen Christ. Jesus encountered Saul, the persecutor of Christians (Acts 9); He can also reveal Himself to Muslim fighters and those involved in jihad in our day. Testimonies of converts from Islam make it clear that this is happening again and again.

4. Christians who work in the Islamic world and the Churches in the West need God’s help and a heart full of mercy to build up deep relationships with Muslims.

5. Churches worldwide need friendliness, love and creativity to express the love of God to Muslims. Only the Holy Spirit can open the eyes of Islamic militants to the truth. (This is no small matter. In Germany alone the National Office for the Protection of the Constitution estimates that there are about 30,000 Muslim militants who, under the right circumstances, could be prone to violence.)

6. We should also pray for God to frustrate the destructive plans of Islamic terrorists. Governments around the world need wisdom and the political will to counter these extremists in an appropriate way and protect the world from harm. We should also pray for the many victims of extremist Islam.

7. Let us pray for ourselves that we may be free from nationalistic and cultural attitudes concerned with defending the West. May we be free from fear (not seeing everything from a friend–enemy perspective) so that we can see militant Muslims through God’s eyes. Above all, may God give us His love for Islamic militants. Jesus also died and rose again for them, to bring them true peace.

From: http://www.30-days.net/ebook6/day01.htm

Wednesday, November 02, 2005

Panduan Meyambut Hari Raya

Hari raya adalah saat berbahagia dan bersuka cita. Kebahagian dan kegembiraan kaum mukmin di dunia adalah kerana Tuhannya iaitu apabila mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala amalnya dengan kepercayaan terhadap janjinya kepada mereka untuk mendapatkan anugerah dan ampunan Nya. Allah Ta’ala berfirman:

Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Alaah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus: 58)

Sebahagian orang bijak berujar: Tiada seorang pun yang bergembira dengan selain Allah kecuali karena kelalaiannya terhadap Allah, sebab orang yang lalai selalu bergembira degan permainan dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang berakal merasa senang dengan tuhanya.

Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tiba di Madinah, kaum Ansar memliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“Allah telah memberi ganti bagi kaitan dua hari yang jauh lebih baik, (yaitu) ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad hasan)

Hadis ini menunjukkan bahawa menampakkan rasa suka cita di Hari Raya adalah sunnah dan disyari’atkan. Maka diperkenankan memperluas Hari Raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegeran badan dan melegakan jiwa, tetapi tidak menjadikannya lupa untuk ta’at kepada Allah. Adapun yang dilakukan kebanyakkan orang di saat Hari Raya dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainnan adalah tidak dibenarkan karena hal itu tidak sesuai dengan yang disyari’atkan bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Allah.

Hari Raya tidak identik dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi Hari Raya adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Kerana itu Allah menggantikan bagi umat ini dua buah Hari Raya yang sarat dengan hiburan dan permainan dengan dua buah Hari Raya yang penuh dzikir, syukur dan ampunan.

Di dunia ini kaum mukminin mempunyai tiga Hari Raya: Hari Raya yang selalu datang setiap minggu dan dua Hari Raya yang masing-masing datang sekali dalam setiap tahun.

Adapun Hari Raya mingguan, terselenggara sebagai pelengkap (penyempurna) bagi shalat wajib lima kali yang merupakan rukun utama agama Islam setelah dua kalimat syahadat. Sedangkan dua Hari Raya yang tidak berulang dalam waktu setahun kecuali sekali adalah:

1. ‘Idul Fitri setelah puasa Ramadhan, hari raya ini terselenggara sebagai pelengkap puasa Ramadhan yang merupakan rukun dan asas Islam keempat. Apabila kaum muslimin merampungkan puasa wajibnya, maka mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah dan terbebas dari api neraka, sebab puasa Ramadhan mendatangkan ampunan atas dosa yang lalu dan pada akhirnya terbebas dari Neraka.

Sebahagian manusia dibebaskan dari neraka padahal dengan berbagai dosanya ia semestinya masuk neraka, maka Allah mensyari’atkan bagi mereka Hari Raya setelah menyempurnakan puasanya, untuk bersyukur kepada Allah, berdzikir dan bertakbir atas petunjuk dan syari’at-Nya berupa shalat dan sedekah pada Hari Raya tersebut.

Hari raya ini merupakan hari pembahagian hadiah, orang-orang yang berpuasa diberi ganjaran puasanya, dan setelah Hari Raya tersebut mereka mendapatkan ampunan.

2. ‘Idul Adha (Hari Raya kurban), ia lebih agung dan utama daripada ‘Idul Fitri. Hari Raya ini terselenggara sebagai penyempurna ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima, bila kaum muslimin merampungkan ibadah hajinya niscaya diampuni dosanya.

Inilah pelbagai bentuk Hari Raya kaum muslimin di dunia, semuanya dilaksanankan saat rampungnya ketakwaan kepada Yang Maha Menguasai dan Yang Maha Pemberi, di saat mereka berhasil memperoleh apa yang dijanjikan-Nya berupa ganjaran dan pahala.

PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM TENTANG HARI RAYA

Pada saat Hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma dengan bilangan ganjil tiga, lima atau tujuh- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘Id. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru memakan sebahagian daging binatang sembelihannya.

Beliau mengahirkan shalat “Idul Fitri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membahagikan zakat fitrahnya, dan mempercepatkan pelaksanaan shalat ‘Idul Adha supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya.

Mengenai hal tersebut, Allah Ta’ala berfirman:

“Maka dirikanlah shalat kerana Tuhanmu dan berkorbanlah” (Al Kausar: 2)

Ibnu Umar yang terkenal sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak keluar untuk shalat ‘Id kecuali terbit matahari, dan dari rumah sampai ke tempat shalat beliau sentiasa bertakbir.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan shalat ‘Id terlebih dahulu baru berkhutbah, dan beliau shalat dua raka’at. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut dengan Takbiratul Ihram, dan berhenti sebebtar diantara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Dia membaca hamdallah dan memuji Allah Ta’ala serta membaca shalawat”

Dan diriwayatkan bahawa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap bertakbir.

Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam setelah bertakbir membaca surat “Al-Fatihah” dan “Qaf” pada rakaat pertama serta surat “Al-Qamar” dirakaat kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada rakaat pertama dan “Al-Gasyiah” pada rakaat kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada rakaat kedua lalu membaca “Al-fatihah” dan surat. Setelah selesai beliau menghadap kearah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing, lalu beliau menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.

Beliau selalu melalui jalan yang berbeza ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘Id. Beliau selalu mandi sebelum shalat ‘Id. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sentiasa memulai setiap khutbahnya dengan hamdalah, dan bersabda:

“Setiap perkara yang tidak dimulai dengan hamdal’Lah, maka ia terputus (dari berkah).” (HR. Ahmad dan lainnya)

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata:

“Bahawasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menunaikan shalat ‘Id dua rakaat tanpa disertai shalat yang lain baik sebelumnya ataupun sesudahnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dan yang lain)

Hadits ini menunjukkan bahawa shalat ‘Id itu hanya dua rakaat, demikian pula mengisyaratkan tidak disyari’atkan shalat sunnah yang lain, baik sebelum atau sesudahnya. Allah Maha Tahu segala sesuatu, shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, seluruh anggota keluarga dan segenap sahabatnya.

KEUTAMAAN PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL

Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“ Barang siapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun: (HR Muslim)

Imam Ahmad dan An-Nasa’I meriwayatkan dari Tsauban, Nabi s.a.w bersabda :

“Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan puasa sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan puasa dua bulan dan kerananya bagaikan berpuasa selama setahun penuh”.

Barangsiapa berpuasa Ramadhan lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. (HR Al Bazzar)

Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari du bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh kerana setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali ganda, sebagaimana telah dinyatakan dalam hadis

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya:

1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, kerana pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan sunat. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi s.a.w di berbagai riwayat, majoriti puasaq fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekuarangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu memerlukan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, kerana apabila Allah ta’ala menerima amal seseorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebahagian orang bijak mengatakan : “ Pahala amal kebaikan adalah kebakan yang ada sesudahnya”.

Oleh kerana itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan yang lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan dapat mendatangkan maghfirah (keampunan) atas dosa-dosa masa lalu. Orang yang berpuasa Ramadhan akan menadapatkan pahalanya pada Hari Raya Eidul Fitri yang merupakan hari pembahagiaan hadiah, maka membiasakan puasa setelah Eidul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

Oleh kerana itu termasuk sebahagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantikannya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang memblas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali, Allah Ta’ala berfirman.

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali”.(An Nahl : 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus denga berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh, dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera untuk kembali melaksanakan puasa padahal orang yang bersegera melaksanakan puasa setelah Eidul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa. Ia tidak merasa bosan dan berat apatah lagi benci.

Seorang ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau menyatakan :

“ Seburuk-seburuk kaum ialah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan sahaja. Padahal orang soleh adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh di sepanjang tahun”.

Oleh kerana itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membanyarnya di bulan Syawal kerana hal itu mempercepatkan proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa syawal.

Dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin tidak ada batasnya sehingga maut menjemputnya. Allah s.w.t berfirman

“Dan sembahnlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”.(Al Hijr : 99)

Dan perlu diingat pula bahawa solat-soalat dan puasa sunat serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala pada bulan Ramadhan adalah disyariatkan sepanjang tahun, kerana hal itu mengandungi perbagai bagai manfaat diantaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan ) Allah kepada hambaNya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakanNya pahala kebaikan dan ditinggikanNya kedudukan. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, selawat dan salam semoga tercurahkan kehadrat Nabi, keluarga dan sahabatnya.

*Dipetik daripada buku “Risalah Ramadhan” karangan Syeikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al Jarullah, Perbitan Darul Wathan ,Riyadh. Edisi terjemahan Indonesia diterbitkan oleh Yayasan Al-Sofwa Jakarta , 1997)

Oleh : Mohd Raimi Abdul RahimExco Dakwah ABIM